Selasa, 31 Agustus 2010

KETERKAITAN EKOSISTEM SECARA BIOLOGIS

Hubungan keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang sudah diduga sejak lama oleh para ahli ekologi. Namun kepastian tentang bentuk keterkaitan antara ketiga ekosistem tersebut secara biologis masih belum banyak dibuktikan. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk membuktikan adanya keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang tersebut dilaksanakan oleh Nagelkerken et al., (2000), di Pulau Curacao, Karibia. Penelitian tersebut dilakukan untuk membuktikan apakah daerah mangrove dan lamun benar-benar secara mutlak (obligat) dibutuhkan oleh ikan karang untuk membesarkan ikan yang masih juvenil ataukah hanya sebagai tempat alternatif (fakulatif) saja untuk memijah. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 jenis biotope (habitat) yang berbeda, yaitu : daerah padang lamun di teluk yang ditumbuhi komunitas mangrove, daerah padang lamun di teluk yang tidak ditumbuhi mangrove (tanpa mangrove), daerah berlumpur di teluk yang ditumbuhi lamun dan mangrove serta daerah berlumpur di teluk yang tidak ditumbuhi lamun dan mangrove (daerah kosong tanpa vegetasi).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Nagelkerken et al., (2000) melaporkan bahwa beberapa spesies ikan menggunakan daerah lamun dan mangrove sebagai daerah asuhan tempat membesarkan juvenile (nursery ground). Kelimpahan dan kekayaan jenis (species richness) tertinggi ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur yang sekelilingnya ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Sedangkan kelimpahan dan kekayaan jenis terendah ditemukan pada daerah berlumpur yang tidak memiliki vegetasi. Daerah padang lamun dan mangrove menjadi tempat perawatan dan pembesaran juvenile yang bersifat obligat bagi spesies ikan : Ocyurus chrysurus dan Scarus iserti. Daerah padang lamun tanpa mangrove menjadi daerah nursery ground obligat bagi Haemulon parrai, Haemulon sciurus, Lutjanus apodus, Lutjanus griseus, Sparisoma chrysopterum dan Sphyraena barracuda. Daerah berlumpur yang ditumbuhi lamun dan mangrove menjadi daerah nursery ground obligat bagi Lutjanus analis. Daerah padang lamun dan mangrove menjadi daerah nursery ground fakultatif bagi Chaetodon capistratus, Gerres cinereus, Haemulon flavolineatum dan Lutjanus mahagoni.
Keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang menciptakan suatu variasi habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis organisme. Hal ini membuktikan adanya pengaruh tepi (edge effect) seperti tampak pada penelitian Nagelkerken et al. (2000). Adanya variasi habitat menciptakan daerah tepi yang saling tumpang tindih. Hal ini menimbulkan suatu daerah pertemuan antar spesies sehingga meningkatkan keanekaragaman jenis organisme di daerah tersebut. Sedangkan di daerah yang memiliki habitat seragam atau tidak memiliki vegetasi hanya mendukung sedikit organisme. D’Avanzo dan Musante (2004), menyatakan bahwa beberapa species ikan terumbu karang melakukan migrasi bolak balik antara terumbu karang, lamun dan mangrove. Sedangkan Mumby (2006), menyatakan bahwa biomassa dari jenis ikan terumbu karang akan meningkat lebih dari dua kali lipat jika komunitas terumbu karang terhubung dengan daerah mangrove yang masih terpelihara dengan baik karena proses reproduksi dan regenerasi tidak terganggu.
Hubungan keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang juga ditunjukkan oleh migrasi ikan karang menuju ke padang lamun dan hutan mangrove. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Versteegh (2003a, 2003b) melaporkan bahwa berdasarkan waktunya migrasi ikan dapat dibagi menjadi 3 seperti diuraikan di bawah ini:
  1. Migrasi yang dilakukan oleh ikan dari tempat satu ke tempat yang lain sesuai dengan tahapan atau daur hidupnya. Misalnya beberapa jenis dari ikan melakukan migrasi ke estuaria saat masih dalam tahap juvenil dan bermigrasi kembali ke laut dalam saat dewasa.
  2. Migrasi yang dilakukan pada waktu tertentu setiap tahun. Migrasi ini umumnya dilakukan untuk mencari lingkungan baru yang memiliki banyak sumber makanan, memiliki kisaran suhu tertentu atau mencari tempat untuk memijah dan bertelur. Migrasi ini dikenal sebagai migrasi musiman.
  3. Migrasi yang dilakukan setiap hari. Migrasi ini umumnya dimulai saat senja. Beberapa jenis ikan yang bersifat nocturnal (aktif pada malam hari) bergerak dari tempat beristirahat di gua-gua atau di daerah terumbu karang menuju perairan yang lebih dangkal seperti daerah lamun dan mangrove untuk mencari makan. Saat fajar ikan-ikan tersebut akan melakukan migrasi kembali ke tempat yang lebih dalam untuk beristirahat di gua atau di daerah terumbu karang. Migrasi ini disebut migrasi senja (twilight migration). Adapula ikan yang melakukan migrasi mengikuti pola pasang surut. Ikan-ikan dari daerah terumbu karang atau ikan dari laut terbuka akan bergerak menuju padang lamun dan mangrove saat pasang naik untuk mencari makan dan akan kembali saat surut. Migrasi ini disebut migrasi pasang surut (tidal migration).
Bukti adanya migrasi harian dari ikan karang menuju ke ekosistem lamun telah dilaporkan oleh Beets et.al., (2003). Hasil penelitian yang dilakukan terhadap ikan karang dari jenis “Bluestriped Grunt” Haemulon sciurus dewasa dan juvenil dengan menggunakan tagging pasif dan telemetri sonik menunjukkan adanya pergerakan jenis ikan tersebut dari daerah terumbu karang menuju ke padang lamun pada malam hari. Namun tidak dilaporkan aktivitas apa yang dilakukan oleh ikan tersebut di daerah lamun. Akan tetapi kuat dugaan bahwa ikan dewasa melakukan migrasi untuk mencari makan sedangkan ikan juvenil untuk berlindung dari pemangsa.
Upston dan Booth (2003), melakukan penelitian dengan menggunakan habitat buatan yang berisi lamun tiruan (artificial seagrass) untuk menentukan penyebab bermigrasinya ikan menuju ke padang lamun. Lamun buatan/tiruan tersebut ditempatkan pada daerah yang berdekatan dengan komunitas lamun alami dari jenis Zostera capricorni di Teluk Botany New South Wales, Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ikan “Tarwhine” Rhabdosargus sarba mendominasi populasi ikan pada habitat buatan dan alami. Juvenil dari berbagai jenis ikan juga ditemukan di habitat buatan dari lamun artificial setelah di pasang selama 6 hari. Karena daun lamun tiruan tidak memungkinkan untuk menjadi bahan makanan bagi ikan, maka kuat dugaan bahwa sebagian besar ikan yang yang ada di habitat buatan tersebut memanfaatkan komunitas lamun tiruan tersebut sebagai tempat untuk berlindung. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah habitat lamun buatan digunakan sebagai tempat untuk mencari makan, mengingat juvenil ikan umumnya hanya memakan Zooplankton atau organisme invertebrata yang melekat pada daun lamun yang asli (Upston dan Booth 2003).

Dari proses migrasi yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa banyak jenis ikan membutuhkan beberapa ekosistem yang berbeda untuk hidup. Dengan demikian, hilangnya satu ekosistem akan merugikan banyak spesies organisme laut. Jika ekosistem mangrove atau lamun hilang, maka banyak organisme yang hidup di daerah terumbu karang atau laut dalam yang akan mengalami kerugian karena kehilangan tempat untuk mencari makan, memijah, membesarkan anak dan berlindung dari pemangsa. Adanya keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang menyediakan ruang yang lebih luas dan habitat yang lebih bervariasi. Hal ini berarti akan meningkatkan daya dukung bagi kehidupan organisme serta menciptakan suatu rantai makanan dan jaring-jaring makanan yang lebih kompleks. Tidak mengherankan apabila keanekaragaman jenis organisme laut relatif tinggi di daerah pertemuan antara ketiga ekosistem tersebut.

Beberapa jenis burung yang hidup di daerah mangrove memanfaatkan padang lamun sebagai tempat mencari makanan saat surut. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk keterkaitan secara biologis antara ekosistem mangrove dengan ekosistem padang lamun. Jenis-jenis organisme yang menjadi bahan makanan bagi bangau terdiri dari hewan invertebrata kecil seperti udang, ikan, cacing polychaeta, siput dan kerang yang terbenam di dalam pasir atau melekat di daun lamun. Kehadiran burung-burung tersebut juga menciptakan suatu keterkaitan secara kimiawi dalam bentuk siklus nitrogen dimana konsentrasi N yang ada di daerah padang lamun akan dipindahkan ke hutan mangrove. Ikan yang dimakan bangau mengandung banyak protein yang akan dicerna dan diterima oleh mangrove dalam bentuk feses (kotoran burung).
Bookmark and Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar