Proses-proses kimiawi yang terjadi dalam ekosistem mangrove juga memberikan pengaruh bagi ekosistem lain di sekitarnya, seperti ekosistem lamun dan terumbu karang. Sebagian besar proses kimiawi dalam ekosistem mangrove terjadi di dalam substrat dan kolom air. Beberapa parameter yang penting dalam proses ini diantaranya adalah kekeruhan (siltasi), konduktivitas elektrik dan kapasitas pertukaran kation. Konsentrasi nutrien juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini, mangrove termasuk ekosistem yang seimbang karena sangat efektif dalam menyimpan (sink) nutrien dengan menyerap nitrogen terlarut, fosfor dan silikon. Transfer unsur hara (fluxes nutrien) terjadi melalui proses fotosintesis dan proses mineralisasi oleh bakteri (Kathiresan, 2001).
Tumbuhan mangrove berperan meningkatkan kandungan nutrien dalam substrat melalui serasah berupa daun yang gugur dan materi organik/debris yang terjebak oleh akar. Substrat akan kehilangan zat hara lebih cepat jika komunitas mangrove menghilang. Kaly et al., 1997 dalam Kathiresan 2001 melaporkan, bahwa kerusakan komunitas mangrove di wilayah Queensland Utara, Australia, menyebabkan hilangnya konsentrasi nitrogen dan fosfor secara signifikan dari dalam substrat.
Komunitas mangrove seringkali mendapatkan suplai bahan polutan seperti logam berat yang berasal dari limbah industri, rumah tangga dan pertanian (pupuk yang larut dalam air). Mangrove dalam keadaan normal memiliki kandungan logam berat yang rendah. Silva et al., 1990 dalam Khatiresan 2001, melaporkan bahwa sedimen di mana komunitas mangrove tumbuh di Teluk Sepetiba, Rio De Janeiro, Brazil, memiliki kandungan Mn dan Cu sebesar 99 %, bahkan kandungan Fe, Zn, Cr, Pb dan Cd hampir mencapai 100% dari total kandungan logam berat pada ekosistem mangrove tersebut. Namun, kandungan logam berat yang terdapat pada jaringan tubuh dari spesies Rhizophora mangle yang tumbuh di atasnya hanya sebesar mencapai 1 % saja. Dengan demikian, tumbuhan mangrove memiliki kemampuan untuk mencegah logam berat memasuki jaringan tubuhnya. Hal ini didukung oleh penelitian dari Sadiq dan Zaidi 1994 dalam Khatiresan 2001 yang dilakukan di Teluk Arab, Saudi Arabia. Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kandungan logam berat yang terdapat di jaringan tubuh mangrove dengan kandungan logam berat yang terdapat dalam sedimen (substrat) dimana mangrove tersebut tumbuh.
Tam dan Wom 1997 dalam Khatiresan 2001, menyatakan bahwa rendahnya kandungan logam berat dalam jaringan tubuh mangrove disebabkan karena beberapa hal: 1). Rendahnya “bioavaibility” dalam sedimen mangal, 2). mekanisme pengeluaran logam berat dari jaringan tubuh mangrove, 3). Adaptasi fisiologis yang mencegah terakumulasinya logam berat di dalam jaringan tubuh mangrove. Akar mangrove berperan sebagai “barrier” yang mencegah logam berat memasuki jaringan tubuh mangrove yang lebih sensitif. Oksigen dikeluarkan oleh akar mangrove dalam substrat membentuk plak besi di permukaan akar yang berperan mencegah logam berat memasuki sel dalam akar. Jika logam berat memasuki jaringan, terdapat mekanisme yang sangat jelas untuk mencegah zat yang berbahaya tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh mangrove. Konsentrasi logam berat pada benih Rhizophora apiculata di ketahui mengalami penurunan dari akar ke batang dan dari batang ke daun (Khatiresan, 2001).
Faktor fisik dan kimiawi dari mangrove secara efisien dapat menjebak logam berat yang tidak dapat diakumulasi secara biologis. Pengendapan yang cepat dari logam sulfida yang stabil dalam kondisi anoksik mengurangi bioavailabilitas dari logam trace dalam sedimen. Elemen yang paling aktif seperti Mn dan Zn akan terendap dalam ikatan fraksi yang kuat. Dengan demikian, komunitas mangrove mampu mengontrol polusi logam berat di daerah tropis (Kathiresan, 2001).
Kemampuan mangrove untuk mengabsorbsi logam berat dalam sedimen merupakan salah satu contoh dari bentuk keterkaitan ekosistem di daerah pesisir. Logam berat merupakan substansi yang bersifat toksik sehingga sangat berbahaya bagi organisme laut. Adanya reduksi logam berat yang terbawa oleh aliran air dan partikel tersuspensi oleh mangrove akan menjamin sehatnya ekosistem lamun dan terumbu karang. Namun, jika ekosistem mangrove menghilang, maka keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang juga akan terancam. Meningkatnya konsentrasi logam berat yang bersifat toksik dalam kolom air akan menimbulkan gangguan fisiologis dalam jaringan tubuh organisme laut. Hal ini akan mendorong munculnya penyakit yang cepat atau lambat dapat memusnahkan komunitas lamun dan terumbu karang. Kasus yang terjadi di pesisir pantai utara (North Sea dan Wadden Sea) di Jerman adalah merupakan salah satu contoh. Hilangnya komunitas lamun di wilayah tersebut menyebabkan degradasi substrat sehingga upaya untuk merehabilitasi kembali vegetasi lamun di daerah tersebut tidak pernah berhasil. Komunitas lamun yang dahulunya tumbuh subur dan tersebar luas kini menghilang akibat pencemaran limbah industri dan rumah tangga. Limbah tersebut dibuang melalui Sungai Rheine sejak awal revolusi industri pada abad ke 18 – 19. Para peneliti biologi laut memperkirakan bahwa komunitas lamun yang hilang dari pesisir pantai tersebut tidak akan pernah dapat kembali lagi (Harald Asmus dan Raghnild Asmus, 2006).
Fairhurst dan Graham (2003), melaporkan bahwa keanekaragaman jenis organisme di daerah padang lamun Mainly Lagoon, pesisir Sydney Australia, menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi nutrien dalam kolom air. Tingginya konsentrasi nutrien dalam kolom air memicu pertumbuhan epifit yang berlebihan (blooming) pada daun lamun sehingga menutupi hampir seluruh permukaan komunitas lamun. Akibatnya, banyak tumbuhan dan organisme lain yang berada pada lapisan bawah tidak mendapatkan suplai cahaya dan Oksigen sehingga mengalami kematian. Di daerah Mainly Lagoon tersebut tidak ditemukan adanya komunitas saltmarsh atau mangrove. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa peran mangrove sebagai penjebak zat hara amatlah penting. Tingginya konsentrasi zat hara dalam kolom air tidak selamanya akan menjamin meningkatnya kualitas ekosistem di daerah lamun, bahkan jika konsentrasi nutrien melewati ambang batas akan menyebabkan komunitas lamun menjadi musnah.
Menurut Barnes dan Hughes (1999), mangrove menghasilkan serasah sebanyak 20 ton/ha/tahun dengan produktifitas primer sebesar 0.5-2.4 gram C/m2/hari. Sedangkan Raffaelli dan Hawkins (1996), menyatakan bahwa komunitas mangrove menghasilkan produktifitas primer sebesar 310 gram C/m2/tahun. Sebagian besar dari serasah atau bahan organik yang berada di daerah mangrove tidak langsung dimanfaatkan oleh organisme melainkan akan memasuki jaring-jaring makanan dalam bentuk bahan organik terlarut (Dissolved Organic Matter).
Mann (2000) menyatakan bahwa rata-rata produksi serasah mangrove yang berasal dari daun dan ranting yang gugur mencapai 0,5 – 1,0 kg/m2/tahun. Dari jumlah tersebut sekitar 50% akan hanyut ke luar dari daerah mangrove saat pasang dan terbawa menuju ke ekosistem lamun dan terumbu karang.
Proses transfer nutrien dari daratan menuju daerah mangrove, lamun dan terumbu karang sangat kompleks dan menarik untuk dipelajari karena menunjukkan adanya hubungan keterkaitan di antara ekosistem yang ada di daerah pesisir. Bahan organik yang dibawa oleh aliran sungai dan serasah mangrove mengalami proses dekomposisi terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai unsur hara. Saat daun mangrove gugur dari pohon dan jatuh di permukaan air, maka dimulailah proses dekomposisi bahan organik. Daun mangrove yang jatuh di air atau lumpur yang becek dan lembab akan membusuk perlahan-lahan akibat proses dekomposisi oleh bakteri dan jamur. Proses dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi menjadi serat yang lebih mudah dicerna. Serasah mangrove yang sudah membusuk tadi kemudian akan dirobek, dicabik-cabik menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh kepiting dan hewan invertebrata lainnya. Potongan-potongan ini dikenal sebagai POM (Particulate Organic Matter). Setelah dicerna, terbentuk partikel organik yang lebih halus dan lebih sederhana dalam bentuk feses (kotoran). Feses ini akan dicerna lebih lanjut oleh organisme pemakan deposit (deposit feeder) menghasilkan feses yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan oleh organisme penyaring makanan (filter feeder)
Proses dekomposisi akibat autolisis jaringan mati dan aktifitas bakteri akan menghasilkan bahan organik yang sifatnya terlarut yang dikenal sebagai DOM (Dissolved Organic Matter). Bahan ini akan dimanfaatkan kembali oleh bakteri, diserap oleh hewan invertebrata atau berikatan dengan partikel tersuspensi dan gelembung busa melalui proses fisik-kimiawi sebelum mengendap di dasar perairan dan dimanfaatkan oleh organisme yang hidup dalam sedimen . Sebagian bahan organik akan terhanyut menuju ekosistem lamun dan terumbu karang. Bahan Organik (DOM) yang terlarut dalam kolom air akan dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer membentuk partikel organik yang lebih kompleks melalui proses fotosintesis. Fitoplankton kemudian dimakan oleh zooplankton, zooplankton dimakan oleh juvenil ikan dan seterusnya. Dengan demikian terjadi transfer energi dari mangrove ke dalam jaring-jaring makanan melalui aktifitas dekomposisi dari mikroorganisme (Mann, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar